TEMPO.CO, Jakarta - Kementerian Perhubungan telah meneken aturan tentang angkutan roda dua berbasis aplikasi atau ojek online pada 11 Maret 2019. Sebelum peraturan itu diterbitkan, pengoperasian ojek online yaitu Grab dan Go-Jek, selama ini belum diatur. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan sempat mengganjal perumusan aturan lantaran tak mengakui sepeda motor sebagai angkutan umum.
Baca juga: Regulasi Ojek Online Terbit, Soal Tarif Menyusul
Dari salinan yang diperoleh Tempo, Peraturan Menteri Nomor 12 Tahun 2019 berisi 21 pasal yang terbagi dalam 8 bab. Aturan ini mengangkat empat isu utama, dari pemenuhan keselamatan, formulasi perhitungan biaya jasa ojek daring, hubungan aplikator dan mitra, serta standar pembekuan (suspend) akun pengemudi.
Peraturan Menteri Perhubungan itu baru bisa berlaku setelah melalui tahap pengenalan atau sosialisasi. Saat ini pemerintah sedang mempercepat sosialisasi aturan baru tersebut.
Direktur Jenderal Perhubungan Darat Kementerian Perhubungan, Budi Setiyadi, mengatakan Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 12 Tahun 2019 tentang Perlindungan Keselamatan Pengguna Sepeda Motor yang Digunakan untuk Kepentingan Masyarakat ini tak akan diawali dengan periode transisi.
"Tinggal sosialisasi di kota-kota besar," kata dia di kantornya, Selasa, 19 Maret 2019.
Sayangnya hingga kini batasan tarif ojek online belum juga disepakati. Kepala Subdirektorat Angkutan Perkotaan Direktorat Jenderal Perhubungan Darat Kementerian Perhubungan, Renhard Ronald, mengatakan batas tarif yang akan dituangkan lewat Keputusan Menteri Perhubungan seharusnya menjadi pelengkap Peraturan Menteri ihwal ojek online yang terbit bulan ini.
Renhard mengatakan pembahasan batas tarif berlarut-larut karena lembaganya wajib menampung usulan berbagai pihak, dari pengemudi, penyedia aplikasi, hingga konsumen. "Ini yang rumit karena kami harus cari titik tengahnya," kata dia kepada Tempo, kemarin.
Menurut Renhard, peraturan tersebut masih harus disosialisasi selama beberapa pekan sebelum bisa dijalankan. Dalam periode itu, Kementerian Perhubungan berusaha mempercepat pembahasan tarif. "Kami optimistis kedua aturan baru bisa berjalan bersamaan," ucapnya.
Direktur Jenderal Perhubungan Darat Kementerian Perhubungan, Budi Setiyadi, menjanjikan rumusan batas tarif rampung akhir pekan ini. Menurut dia, aplikator dan pengemudi belum sependapat ihwal tarif perjalanan per kilometer. "Kami juga memikirkan penumpang. Konsumen prinsipnya mau murah," tuturnya.
Dian Sastro Ngojek by Instagram
Berdasarkan formula yang ditetapkan dalam Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 12 Tahun 2019, perhitungan tarif bakal dikaitkan dengan pengeluaran pengemudi ojek online yang biasa disebut biaya langsung, seperti harga bensin. Ada pula pungutan aplikator dari tarif jasa pengemudi, yang diistilahkan sebagai biaya tak langsung.
Pihak pengemudi, Budi melanjutkan, mengusulkan penetapan batas bawah tarif Rp 2.400 per km tanpa potongan (neto). Meski tak sama persis, kedua aplikator justru meminta tarif masih berkisar Rp 1.600 per km. "Soal Rp 2.400, aplikator menganggap cukup besar. Orientasi mereka kan untuk kelangsungan bisnis," kata dia.
Dalam hasil risetnya, lembaga Research Institute of Socio Economic Development (RISED) menyatakan tarif ideal ojek online Rp 2.000 per kilometer. Angka ini didapat dari hasil penelitian RISED.
Peneliti RISED Fitra Faisal menjelaskan 71 persen konsumen saat ini hanya mampu menghadapi kenaikan pengeluaran per hari kurang dari Rp 5.000. Oleh karena itu, kenaikan tarif maksimal Rp 2000/km dianggap masih sesuai dengan kemampuan ekonomi pengguna ojek online.
Besaran tarif yang diusulkan RISED di bawah angka yang diinginkan pengemudi ojek online. "Kami menyampaikan pandangan bahwa kami dari ojek online menuntut biaya jasa tarif dasar minimum Rp. 2400/Km bersih tanpa potongan apapun dan flagfall maksimal 4 Km pertama Rp 12.000," ujar Presidium Nasional Garda Indonesia, Igun Wicaksono seperti dikutip dari Bisnis.com.
Bila tarif yang disepakati di bawah angka yang diinginkan pengemudi, mereka mengancam akan menggelar unjuk rasa. "Jika tidak menerima, atas aspirasi berbagai aliansi dan komunitas ojol di seluruh Indonesia kemungkinan akan turun aksi massa, namun ini adalah opsi paling terakhir. Kami berharap tidak ada opsi sampai turun aksi massa, agar semua aspirasi dapat terakomodir," tuturnya.
Selain mentok dalam pembahasan soal tarif, aturan ojek online ini juga rawan gugatan. Komisioner Ombudsman RI, Alvin Lie, menilai peraturan baru tersebut rentan digugat karena status ojek tak termasuk transportasi umum. "Tata dulu undang-undang agar bisa melegalkan sepeda motor. Selama masih menyimpang, rentan sekali digugurkan pihak mana pun," ujarnya.
DIAS PRASONGKO | YOHANES PASKALIS | BISNIS